ZONAKAWANUA.COM, SANGIHE – Sejumlah pihak menyoroti aktivitas ilegal mining yang masih berlangsung di Pulau Sangihe.
Salah satunya, mantan Kapolda Bali Irjen Pol (Purn) Dr. Ronny F Sompie, SH MH, yang turut menanggapi terkait hal ini.
Menurut Ronny Sompie, harus ada suatu metode eksplorasi sumber daya dari dalam tanah yang sistematis dan ramah lingkungan mengingat kekayaan alam Indonesia yang meluas terutama mineral dan gas bumi.
“Karenanya diperlukan izin usaha pertambangan untuk melakukan aktivitasnya,” terang Ronny.
Lanjut dia, sebagai salah satu upaya ekstraktif, aktivitas pertambangan memiliki risiko tinggi bagi pengelola, pekerja, warga lingkar tambang terlebih alam sekitarnya.
Terlebih lagi aktivitas pertambangan kerap dilakukan di hutan atau pulau kecil yang menjadi habitat hewan endemik dan masyarakat lokal.
“Izin usaha pertambangan akan menjadi salah satu indikator apakah usaha tersebut memiliki dampak positif juga terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan lingkungannya. Selain itu pula menjadi suatu jaminan bahwa kegiatan pertambangan tersebut akan melakukan proses rehabilitasi terhadap lingkungannya yang rusak,” tutur Ronny.
Dirinya juga berpendapat, penambangan sepatunya merupakan usaha dimana kegiatannya berdampak langsung pada kehidupan perekonomian masyarakat.
Karenanya diperlukan kajian yang sistematis untuk mengetahui apakah manfaatnya jauh lebih besar daripada dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
“Mengapa diperlukan izin usaha pertambangan, tujuannya untuk memastikan hal tersebut,” sebut Caleg DPR-RI Dapil Sulut dari Partai Golkar dengan nomor urut 3 ini.
Atas dasar itulah, selaku pemerhati lingkungan RFS menyatakan dukungan penuh terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Koalisi Save Sangihe Island (SSI) atau Selamatkan Sangihe Ikekendage, bersama dengan para tua-tua adat.
“Saya pun sependapat bahwa kegiatan yang dilakukan ini adalah upaya merespon pelanggaran hukum dan dampak serius terhadap lingkungan pesisir, termasuk ancaman terhadap ekosistem mangrove dan sumber daya laut di sekitar pulau tersebut,” tukasnya.
Bahkan kata dia, berdasarkan fakta di lapangan yang dirasakan oleh masyarakat setempat aktivitas ilegal mining di daerah Entanah Mahamu dan kampung Bowone telah mengakibatkan kerusakan yang signifikan.
“Termasuk sedimentasi lumpur yang semakin parah, dan juga dugaan keracunan masyarakat di Bowone karena mengkonsumsi kerang, serta terjadi penurunan kepercayaan masyarakat terhadap ikan yang ditangkap dari Teluk Binebas,” imbuhnya.
Sompie juga sependapat dengan aktivis lingkungan Jull Takaliuang yang menekankan urgensi untuk segera menghentikan operasi dan kegiatan pertambangan ilegal di Sangihe untuk mencegah terjadinya tragedi seperti di Buyat, di mana hasil laut tercemar dan menyebabkan penyakit.
“Perlu segera menghentikan kegiatan tambang ilegal ini, agar jangan sampai suatu saat masyarakat baru sadar, bahwa ikan yang di sekitar Pulau Sangihe sudah tidak bisa dimakan. Anak-anak akan makan ikan beracun, jangan sampai tragedi di teluk Buyat terjadi di Sangihe,” tekannya.
Selain itu, mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini pun mengkritisi kasus dugaan pencemaran merkuri dan arsen di Teluk Buyat seolah tak berujung.
“Banyak pihak yang bertanya dari mana logam berat itu berasal?,” singgungnya.
Pernah terjadi belum ada pihak yang tahu secara pasti asal mercuri, termasuk arsen, yang menyebabkan perairan di Teluk Buyat, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara tercemar.
Sekadar menjadi pengingat, sejak 1996 sebuah perusahaan tambang emas berskala multinasional membuka areal pertambangan di sekitar Ratatotok.
“PT Newmont Minahasa Raya, nama perusahaan itu yang 80 % kepemilikan sahamnya dikuasai Newmont Corp–sisanya oleh PT Tanjung Serapung, perusahaan Indonesia-dituding telah melakukan pencemaran di perairan teluk tersebut,” ketusnya.
Komentar