ZONAKAWANUA.COM, Nusa Utara – Setelah mengunjungi destinasi pariwisata di Pulau Biaro serta menelisik keindahan peradaban Putri Lohoraung di Pulau Tagulandang pada beberapa waktu yang lalu.
Kali ini, Pemerhati Pariwisata Sulawesi Utara (Sulut) Irjen Pol (Purn) Dr. Ronny Franky Sompie, SH.MH, melanjutkan eksplorasi menuju wilayah kerajaan Siau dari Era Portugis – Spanyol yang tersohor sebagai penghasil komoditi Pala serta julukan Pulau Ringgit ala Soekarno.
Saat mengunjungi pulau Siau tepatnya di dermaga Pehe Siau Barat (Sibar) Kabupaten Kepulauan Sitaro, pelancong baru pertama kali berkunjung akan disuguhkan landscape pemandangan yang menakjubkan sekaligus menantang adrenalin.
Betapa tidak, di bawah kubah-kubah lava yang nampak menghitam dan kelabu, terhampar perkebunan pala yang luas dan subur.
“Inilah Gunung Karangetang yang berketinggian 1827 meter yang tegak bagai easel yang angkuh. Ini salah satu gunung api teraktif di dunia. Di sana, ada jutaan ton material pasir dan abu vulkanik bertengger di puncaknya. Itulah ikon pulau Siau, selain komoditas pala dengan kualitas terbaik dunia,” kata Putra Tonsea Minut kepada awak media. Rabu (09/08/2023).
Hanya beberapa saat, gemuruh kawah akan terdengar seperti guman yang kasar disusul semburan abu terlontar ke udara membayang-bayangi sekujur tubuh pulau, sekaligus menyuburkan tanaman unggulan ini.
Julukan Pulau Ringgit :
Di era Presiden Soekarno, Siau dijuluki Pulau Ringgit karena kualitas dan kesuburan tanaman pala. Di pasar dunia, komoditas Pala Siau disebut King of Species.
Delapan tahun pasca-kemerdekaan, tepatnya Februari 1953 silam, ketika berkunjung ke pulau Siau, Presiden RI Soekarno menjuluki Siau sebagai Pulau Ringgit karena keunggulan tanaman pala, tutur Bacaleg DPR-RI Partai Golkar dari Dapil Sulut ini.
Kekaguman Soekarno pada keunggulan komoditas pala Siau tentu sangat beralasan. Uni Eropa memberikan Geographical Indication bagi pala Siau dengan spesifikasi khusus.
Di lain sisi, Indonesia merupakan produsen kedua terbesar Nutmeg, Mace dan Cardamoms di dunia setelah Guatemala, dengan produksi 32.700 ton dan luas lahan 157.800 (FAO,2014). Sisanya dihasilkan dari India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka dan beberapa pulau di Karibia.
“Permintaan dunia untuk komoditas Pala Indonesia – terutama pala Siau– memang sudah berlangsung lama, bahkan menjadi incaran dunia, sejak jaman penjajahan. Selalu ada permintaan pala asal Indonesia untuk dikirim ke negara-negara luar, terutama Eropa,” sebut Irjen Pol (Purn) Dr. Ronny Franky Sompie, SH.MH.
Peradaban Sejarah Siau dari Era Portugis – Spanyol :
Kerajaan Siau, salah satu kerajaan nusantara. Eksis selama lebih 4 abad sejak berdiri pada 1510, dan berakhir pada 1956 setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat.
“Mengutip tulisan Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Malucensia.
Kompeni Belanda pernah sangat kesulitan mencaplok kerajaan Siau ke dalam lingkup kekuasaannya, karena kerajaan ini merupakan wilayah yang dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila, di benteng Intramuros (Filipina). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia ke wilayah laut negara Filipina,” ungkap mantan Kapolda Bali.
Menurut Sompie, ada juga dalam catatan sejarawan Pitres Sombowadile, dalam kiprahnya, wilayah kerajaan Siau pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan sampai ke Leok Buol.
Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao .
Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau ungkap Sombowadile, tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan.
“Kakuntungan tulisnya kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis pernah singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang dalam catatan bahkan pernah turut dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu masih ada hingga kini di bagian Barat pulau Siau
Meski Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak serta merta disebut agama Katolik sudah dianut kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut, yaitu oleh Raja Siau II Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate,” tutur Mantan Kadivhumas mabes Polri.
Sompie juga menambahkan, sejatinya kita bisa melahirkan ide cerdas untuk membangun Siau semakin hebat di masa depan melalui hasil kekakayaan sumber daya alam diantaranya tanaman pala dan peradaban sejarah yang ada di Pulai Siau.
“Paling tidak, Siau yang berpenduduk dengan pemegang hak pilih sekitar 20.000 Pemilih di saat Pemilu 2024 yang akan datang, bisa menentukan pilihan yang tepat siapa yang cocok untuk memimpin Provinsi Sulut dibantu 6 Anggota DPR RI pada tahun 2024 – 2029 ???
Ke arah itulah ide cerdas diarahkan, agar Siau bisa mendapatkan perhatian dari Pemprov Sulut didukung 6 Anggota DPR RI di sepanjang tahun 2024 – 2029,” tutup Bacaleg DPR-RI Golkar Dapil Sulut. (**)
Komentar