Oleh Alfian Tumuahy
ZONAKAWANUA.COM, SITARO — Di usia ke-18 yang jatuh pada hari ini, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) berdiri di persimpangan antara cita-cita dan kenyataan. Dengan 47 pulau yang tersebar di utara Sulawesi, kabupaten yang dimekarkan pada 2007 ini merayakan hari jadinya dengan gegap gempita. Namun di balik euforia peringatan hari ulang tahun, bersemayam sejumlah pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Listrik : Nadi yang Tersendat
Salah satu tantangan mendasar yang masih membayangi Sitaro adalah krisis energi listrik. Hingga Mei 2025, distribusi listrik di sejumlah wilayah di Sitaro masih belum stabil. Pemadaman bergilir masih menjadi rutinitas harian, bahkan di pusat-pusat layanan publik. Menurut data PLN Suluttenggo, dari total 47 pulau, hanya 60% yang mendapat aliran listrik selama 24 jam. Sisanya, hanya 6–12 jam per hari.
Pasalnya, jika listrik padam, jaringan internet juga ikut lemot imbasnya pelayanan kesehatan, pendidikan, perbankan dan pelayanan publik lainnya ikut terganggu.
Ketergantungan terhadap bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik diesel membuat biaya operasional mahal dan tidak ramah lingkungan. Sementara upaya pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya belum optimal dan hanya menjangkau beberapa wilayah terpencil.
Internet: Terisolasi di Era Digital
Selain masalah Listrik, keterbatasan akses internet juga menjadi isu krusial. Dalam laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2024), Sitaro tercatat memiliki lebih dari 30 titik blank spot. Kondisi ini menyulitkan aktivitas pendidikan, bisnis digital, hingga urusan administrasi masyarakat.
Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021–2026, Pemkab Sitaro mencanangkan digitalisasi layanan publik sebagai pilar utama pembangunan. Namun, target itu terancam stagnan jika infrastruktur TIK tak kunjung diperbaiki.
Masadada : Mimpi atau Misi?
Slogan “Masadada” (Maju, Sejahtera, Damai dan Dahsyat) terus digaungkan oleh pemerintah daerah sebagai visi pembangunan. Namun di lapangan, masyarakat menantikan realisasi konkret dari visi tersebut.
Sektor kesehatan masih bergulat dengan keterbatasan tenaga medis dan fasilitas. Pendidikan pun menghadapi tantangan infrastruktur, terutama di pulau-pulau kecil yang belum memiliki sekolah menengah atas. Di bidang ekonomi, para nelayan dan petani kesulitan memasarkan produk karena akses transportasi laut yang minim dan mahal.
Pemkab Sitaro berkomitmen untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dasar. Tahun akan digenjot elektrifikasi di lima pulau tambahan dan memperluas jaringan internet lewat program kerja sama dengan BAKTI Kominfo.
Meski menghadapi beragam kendala, semangat warga Sitaro tak padam. Berbagai inisiatif lokal muncul, seperti koperasi energi surya, komunitas belajar daring, dan pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal.
Usia 18 tahun bagi Sitaro ibarat gerbang kedewasaan. Pertanyaannya kini: akankah Sitaro mampu mewujudkan “Masadada” bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai realitas hidup sehari-hari?
Jawabannya tergantung pada keseriusan semua pihak — dari pusat hingga daerah — untuk tidak lagi memandang Sitaro sebagai daerah pinggiran, melainkan sebagai halaman depan Indonesia.
Komentar